Kenapa Python jarang diajarkan di kampus Indonesia 2005–2013? Simak alasannya, dampaknya, dan hubungannya dengan Linux & open-source.
Sekarang Python jadi primadona. Dari data science, machine learning, sampai automasi, bahasa ini selalu muncul di daftar skill penting. Tapi kalau kita balik ke periode 2005–2013, cerita berbeda: Python hampir tidak dilirik kampus di Indonesia.
Python dan Tren Global di Awal 2000-an
Padahal sejak awal 2000-an, Python sudah terkenal sederhana, fleksibel, dan gratis. Lalu kenapa dunia kampus waktu itu nggak buru-buru mengadopsinya? Mari kita bongkar.
1. Gratis = Kurang Bergengsi?
Python itu open-source alias gratis. Harusnya ini keuntungan besar, tapi di tahun 2000-an, banyak kampus justru menganggap bahasa gratis “kurang profesional”. Mereka lebih percaya diri mengajarkan Java (didukung Sun/Oracle) atau C++ yang punya backing vendor besar.
Kasus ini mirip dengan Linux. Meski kuat dan gratis, Linux jarang dipakai di kelas atau lab komputer. Alasannya? Industri saat itu masih fokus ke Windows, jadi kampus menganggap Linux “tidak praktis untuk kerja”. Hasilnya, ide open-source sering dianggap sekadar hobi, bukan jalur serius untuk karier.
2. Kurikulum Terlanjur Nyaman dengan PHP, C, dan Java
-
C dipakai untuk melatih logika low-level seperti pointer dan memory management.
-
Java jadi andalan untuk OOP.
-
PHP populer karena sesuai dengan tren freelance web dev kala itu.
Python, dengan sintaks super simpel dan library melimpah, justru dianggap “terlalu memanjakan” mahasiswa. Jadi, kalau mau belajar sorting, searching, atau struktur data, dosen lebih memilih C/Java.
3. Faktor Dosen dan Kurikulum yang Ketinggalan
Banyak dosen lebih fasih di bahasa lama karena latar belakang mereka dari era 90-an. Sementara kurikulum nasional juga lambat mengikuti tren global. Akibatnya, Python hampir nggak masuk kelas. Sama halnya dengan Linux: jarang sekali dijadikan bahan ajar utama, padahal potensinya besar.
Dampaknya: Tertinggal dari Revolusi Data
Karena Python jarang diajarkan, lulusan periode 2005–2013 ketinggalan ketika era data science dan AI meledak setelah 2015. Bahkan JavaScript, yang seharusnya jadi pilar web modern, juga terlambat dipelajari di kampus (biasanya cuma bonus dari PHP). Akibatnya, banyak startup Indonesia agak lambat bersaing dengan negara lain di Asia.
Apakah Opini “Open-Source Kurang Berguna” Salah?
Kalau dilihat dari perspektif sekarang, iya, jelas salah besar. Python dan Linux terbukti jadi tulang punggung teknologi modern. Tapi kalau kita kembali ke konteks 2005–2013, opini itu bisa dimaklumi: industri saat itu memang lebih butuh skill Java, PHP, dan Windows. Jadi kampus pun mengikuti arus pasar.
Kesimpulan
Python jarang diajarkan di kampus Indonesia 2005–2013 bukan karena lemah, tapi karena:
-
stigma open-source yang dianggap kurang profesional (termasuk Linux),
-
kurikulum yang nyaman di bahasa lama,
-
keterbatasan dosen dan sumber daya.
Hasilnya, Indonesia agak telat masuk ke dunia data science, AI, dan web modern. Untungnya, sekarang Python dan Linux makin diterima, bahkan sering jadi dasar sejak semester awal. Artinya, generasi baru punya kesempatan lebih besar untuk bersaing di era digital global. (bm)
0 Comments