Refleksi untuk Aceh dan Indonesia
Artikel ini membahas sistem penggajian di Indonesia dan Aceh dari sudut pandang Islam, Pancasila, dan kapitalisme. Termasuk refleksi: sudahkah prinsip keadilan diterapkan? Apa solusinya menurut Syariat Islam dan nilai Pancasila?
Pengantar
Penggajian adalah salah satu indikator terpenting dalam menilai keadilan sebuah sistem ekonomi. Indonesia sering menyatakan diri berlandaskan Pancasila, sementara Aceh memiliki keistimewaan dalam menerapkan Syariat Islam. Namun, pertanyaannya: Apakah praktik penggajian di lapangan benar-benar mencerminkan nilai-nilai tersebut?
Atau justru cenderung mengikuti pola kapitalisme, yang menempatkan tenaga kerja sebagai komoditas?
1. Sistem Penggajian Kapitalis: Kinerja, Bukan Keadilan
Dalam sistem kapitalis, gaji ditentukan terutama oleh mekanisme pasar: siapa mau dibayar berapa, siapa mau bekerja berapa.
Ciri utamanya:
-
Upah disesuaikan dengan kemampuan pasar atau perusahaan.
-
Keadilan tidak otomatis dijamin.
-
Pekerja tidak selalu dipandang sebagai manusia, tetapi sebagai tenaga yang bisa dibeli.
Inilah yang membuat banyak kasus pekerja dibayar jauh di bawah kebutuhan hidup layak, meski mereka bekerja keras dan memiliki tanggung jawab tinggi.
2. Prinsip Penggajian dalam Islam: Adil, Manusiawi, dan Bertanggung Jawab
Dalam Islam, penggajian bukan sekadar transaksi ekonomi, tetapi amanah moral dan ibadah.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.”
Prinsip utama penggajian dalam Islam:
-
Keadilan & kelayakan
-
Tidak menzalimi pekerja
-
Majikan bertanggung jawab di dunia & akhirat
-
Kesejahteraan sebagai hak pekerja
Jika diterapkan, tidak akan ada gaji yang “terlalu rendah untuk hidup layak”.
3. Penggajian dalam Perspektif Pancasila
Pancasila menekankan:
Sila ke-2: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Penggajian harus manusiawi dan adil.
Sila ke-5: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Upah yang layak adalah bagian dari keadilan sosial.
Pertanyaannya: Setelah ±80 tahun merdeka, sudahkah Indonesia menerapkan nilai ini secara merata?
Banyak contoh menunjukkan ketimpangan masih tinggi, termasuk pekerja kontrak, outsourcing, dan tenaga honorer lama yang tidak pernah mendapatkan kepastian.
4. Refleksi Khusus: Sudahkan Aceh Menerapkan Syariat Islam dan Pancasila dalam Penggajian?
Aceh memiliki otonomi khusus: Syariat Islam + Pancasila.
Secara teori, ini semestinya menjadi kombinasi ideal: religius, adil, manusiawi, dan penuh tanggung jawab moral.
Namun, realitasnya:
-
Masih banyak pekerja digaji jauh dari standar layak.
-
Ada institusi yang membayar upah rendah meski beban kerja tinggi.
-
Syariat Islam belum menyentuh ranah ekonomi secara menyeluruh.
-
Pancasila belum diinternalisasi sebagai dasar kebijakan penggajian.
Seharusnya Aceh dapat menjadi model keadilan ekonomi nasional, tetapi implementasinya masih jauh dari ideal.
5. Ketika Sulit Menjadi Adil, Maka Jangan Serakah
Dalam konteks sosial dan moral, ini adalah pengingat penting:
Jika tidak mampu berlaku adil dalam penggajian, maka jangan serakah dalam mengambil keuntungan.
Karena dalam Islam, kezaliman terhadap pekerja adalah dosa besar, dan dalam Pancasila, ketidakadilan ekonomi adalah pengkhianatan terhadap nilai bangsa.
Kesimpulan
Indonesia dan Aceh memiliki dasar nilai yang sangat kuat—Pancasila dan Syariat Islam.
Namun, implementasi dalam sistem penggajian masih sering menyimpang dari prinsip keadilan.
Kita perlu kembali pada nilai-nilai luhur: adil, beradab, manusiawi, tidak serakah, dan bertanggung jawab.
Jika nilai-nilai ini dihidupkan, maka penggajian tidak hanya menjadi transaksi ekonomi, tetapi jalan menuju keberkahan dan kesejahteraan bersama.(bm)
0 Comments